Selasa, 05 Juni 2012

BAHAN ORGANIK TANAH


Peranan Penambahan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah

1.   Latar Belakang
Penurunan produksi pertanian akibat dari alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Salah satu alternatif pilihan yang diharapkan dapat meningkatkan potensi produksi tanaman dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan adalah pemanfaatan lahan secara maksimal. Selain karena memang tersedia cukup luas, sebagian dari lahan kering belum diusahakan secara optimal sehingga memungkinkan peluang dalam pengembangannya.
Lahan pertanian yang diusahakan secara intensif akan mengalami penurunan unsur hara yang tersedia di dalam tanah. Hasil panen berupa batang, daun, umbi, biji, akar yang diangkut keluar dari lahan membawa serta unsur hara yang terkandung di dalamnya. Tanpa pengembalian unsur hara yang memadai berupa masukan pupuk atau pembenah tanah, produktivitas lahan akan cepat merosot yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman untuk periode berikutnya akan lebih buruk. Pelapukan mineral tanah biasanya cukup menambah unsur hara untuk mengimbangi kehilangan karena pencucian, tetapi tidak terhadap pengangkutan hasil panen.
Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan penurunan cadangan karbon tanah. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya beberapa aktivitas pada lahan pertanian antara lain melalui pengangkutan panen, pembakaran sisa panen, pengolahan tanah, pengairan dan penyiangan gulma. Kegiatan tersebut akan mempercepat proses dekomposisi bahan organik tanah sehingga kandungan bahan organik tanah (BOT) pada lahan pertanian umumnya menurun dengan cepat sekitar 20 - 50 % dari kondisi di hutan. Penurunan kandungan bahan organik tanah (BOT) ini menyebabkan terjadinya degradasi kesuburan tanah.
Oleh karena karena itu perlu adanya penambahan bahan organik tanah guna meningkatkan kesuburan tanah yang telah mengalami degradasi lahan. Selain itu pengangkutan hasil panen secara intensif sebaiknya dikurangi dan pengembalian sisa hasil panen sebaiknya dikembalikan pada tanah kembali.

2.   Pengelolaan kesuburan tanah melalui penambahan bahan organik.
a.   Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah.

Bahan organik di samping berpengaruh terhadap pasokan hara tanah juga tidak kalah pentingnya terhadap sifat fisik, biologi dan kimia tanah lainnya. Syarat tanah sebagai media tumbuh dibutuhkan kondisi fisik dan kimia yang baik. Keadaan fisik tanah yang baik apabila dapat menjamin pertumbuhan akar tanaman dan mampu sebagai tempat aerasi dan lengas tanah, yang semuanya berkaitan dengan peran bahan organik. Peran bahan organik yang paling besar terhadap sifat fisik tanah meliputi : struktur, konsistensi, porositas, daya mengikat air, dan yang tidak kalah penting adalah peningkatan ketahanan terhadap erosi.
Peran Bahan Organik Terhadap Kesuburan Fisik Tanah
Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam pembentukan struktur tanah. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap struktur tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah yang diperlakukan. Pada tanah lempung yang berat, terjadi perubahan struktur gumpal kasar dan kuat menjadi struktur yang lebih halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang hingga kuat, sehingga lebih mudah untuk diolah. Komponen organik seperti asam humat dan asam fulvat dalam hal ini berperan sebagai sementasi pertikel lempung dengan membentuk komplek lempung-logam-humus. Pada tanah pasiran bahan organik dapat diharapkan merubah struktur tanah dari berbutir tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan derajat struktur dan ukuran agregat atau meningkatkan kelas struktur dari halus menjadi sedang atau kasar. Bahkan bahan organik dapat mengubah tanah yang semula tidak berstruktur (pejal) dapat membentuk struktur yang baik atau remah, dengan derajat struktur yang sedang hingga kuat.
            Mekanisme pembentukan agregat tanah oleh adanya peran bahan organik ini dapat digolongan dalam empat bentuk: (1) Penambahan bahan organik dapat meningkatkan populasi mikroorganisme tanah baik jamur dan actinomycetes. Melalui pengikatan secara fisik butir-bitir primer oleh miselia jamur dan actinomycetes, maka akan terbentuk agregat walaupun tanpa adanya fraksi lempung; (2) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian–bagian positif dalam butir lempunf dengan gugus negatif (karboksil) senyawa organik yang berantai panjang (polimer); (3) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagianbagian negatif dalam lempung dengan gugusan negatif (karboksil) senyawa organik
berantai panjang dengan perantaraan basa-basa Ca, Mg, Fe dan ikatan hidrogen; (4) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian-bagian negative dalam lempung dengan gugus positif (gugus amina, amida, dan amino) senyawa organik berantai panjang (polimer).
Pengaruh bahan organik terhadap sifat fisika tanah yang lain adalah terhadap peningkatan porositas tanah. Porositas tanah adalah ukuran yang menunjukkan bagian tanah yang tidak terisi bahan padat tanah yang terisi oleh udara dan air. Pori pori tanah dapat dibedakan menjadi pori mikro, pori meso dan pori makro. Pori-pori mikro sering dikenal sebagai pori kapiler, pori meso dikenal sebagai pori drainase lambat, dan pori makro merupakan pori drainase cepat. Tanah pasir yang banyak mengandung pori makro sulit menahan air, sedang tanah lempung yang banyak mengandung pori mikro drainasenya jelek. Pori dalam tanah menentukan kandungan air dan udara dalam tanah serta menentukan perbandingan tata udara dan tata air yang baik. Penambahan bahan organik pada tanah kasar (berpasir), akan meningkatkan pori yang berukuran menengah dan menurunkan pori makro.
Pengaruh bahan organik terhadap peningkatan porositas tanah di samping berkaitan dengan aerasi tanah, juga berkaitan dengan status kadar air dalam tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan kemampuan menahan air sehingga kemampuan menyediakan air tanah untuk pertumbuhan tanaman meningkat. Kadar air yang optimal bagi tanaman dan kehidupan mikroorganisme adalah sekitar kapasitas lapang. Penambahan bahan organik di tanah pasiran akan meningkatkan kadar air pada kapasitas lapang, akibat dari meningkatnya pori yang berukuran menengah (meso) dan menurunnya pori makro, sehingga daya menahan air meningkat, dan berdampak pada peningkatan ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman. Pada tanah  berlempung dengan penambahan bahan organik akan meningkatkan infiltrasi tanah akibat dari meningkatnya pori meso tanah dan menurunnya pori mikro.
Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Kimia Tanah
Pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia tanah antara lain terhadap kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH tanah, daya sangga tanah dan terhadap keharaan tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan muatan negative sehingga akan meningkatkan kapasitas pertukaran kation (KTK). Bahan organik memberikan konstribusi yang nyata terhadap KTK tanah. Sekitar 20 – 70 % kapasitas pertukaran tanah pada umumnya bersumber pada koloid humus (contoh: Molisol), sehingga terdapat korelasi antara bahan organik dengan KTK tanah (Stevenson, 1982). Kapasitas pertukaran kation (KTK) menunjukkan kemampuan tanah untuk menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut termasuk kation hara tanaman. Kapasitas pertukaran kation penting untuk kesuburan tanah. Humus dalam tanah sebagai hasil proses dekomposisi bahan organik merupakan sumber muatan negatif tanah, sehingga humus dianggap mempunyai susunan koloid seperti lempung, namun humus tidak semantap koloid lempung, dia bersifat dinamik, mudah dihancurkan dan dibentuk. Sumber utama muatan negatif humus sebagian besar berasal dari gugus karboksil (- COOH) dan fenolik (-OH).
Fraksi bahan organik dalam tanah berpotensi dapat berperan untuk menurunkan kandungan pestisida secara nonbiologis, yaitu dengan cara mengadsorbsi pestisida dalam tanah. Mekanisme ikatan pestisida dengan bahan organik tanah dapat melalui: pertukaran ion, protonisasi, ikatan hidrogen, gaya vander Waal’s dan ikatan koordinasi dengan ion logam (pertukaran ligan). Tiga faktor yang menentukan adsorbsi pestisida dengan bahan organik : (1) karakteristik fisika-kimia adsorbenya (koloid humus), (2) sifat pestisidanya, dan (3) Sifat tanahnya, yang meliputi kandungan bahan organik, kandungan dan jenis lempungnya, pH, kandungan kation tertukarnya, lengas, dan temperatur tanahnya.
Pengaruh penambahan bahan organik terhadap pH tanah dapat meningkatkan atau menurunkan tergantung oleh tingkat kematangan bahan organik yang kita tambahkan dan jenis tanahnya. Penambahan bahan organik yang belum masak (misal pupuk hijau) atau bahan organik yang masih mengalami proses dekomposisi, biasanya akan menyebabkan penurunan pH tanah, karena selama proses dekomposisi akan melepaskan asam-asam organik yang menyebabkan menurunnya pH tanah. Namun apabila diberikan pada tanah yang masam dengan kandungan Al tertukar tinggi, akan menyebabkan peningkatan pH tanah, karena asam-asam organik hasil dekomposisi akan mengikat Al membentuk senyawa komplek (khelat), sehingga Al-tidak terhidrolisis lagi. Dilaporkan bahwa penamhan bahan organik pada tanah masam, antara lain inseptisol, ultisol dan andisol mampu meningkatkan pH tanah dan mampu menurunkan Al tertukar tanah. Peningkatan pH tanah juga akan terjadi apabila bahan organik yang kita tambahkan telah terdekomposisi lanjut (matang), karena bahan organik yang telah termineralisasi akan melepaskan mineralnya, berupa kation-kation basa.
Peran bahan organik terhadap ketersediaan hara dalam tanah tidak terlepas dengan proses mineralisasi yang merupakan tahap akhir dari proses perombakan bahan organik. Dalam proses mineralisasi akan dilepas mineral-mineral hara tanaman dengan lengkap (N, P, K, Ca, Mg dan S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu dan relatif kecil. Hara N, P dan S merupakan hara yang relatif lebih banyak untuk dilepas dan dapat digunakan tanaman. Bahan organik sumber nitrogen (protein) pertama-tama akan mengalami peruraian menjadi asam-asam amino yang dikenal dengan proses aminisasi, yang selanjutnya oleh sejumlah besar mikrobia heterotrofik mengurai menjadi amonium yang dikenal sebagai proses amonifikasi. Amonifikasi ini dapat berlangsung hampir pada setiap keadaan, sehingga amonium dapat merupakan bentuk nitrogen anorganik (mineral) yang utama dalam tanah. Amonium ini antara lain dapat secara langsung diserap dan digunakan tanaman untuk pertumbuhannya, atau oleh mikroorganisme untuk segera dioksidasi menjadi nitrat yang disebut dengan proses nitrifikasi. Nitrifikasi adalah proses bertahap yaitu proses nitritasi yang dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas dengan menghasilkan nitrit, yang segera diikuti oleh proses oksidasi berikutnya menjadi nitrat yang dilakukan oleh bakteri Nitrobacter yang disebut dengan nitratasi. Nitrat merupakan hasil proses mineralisasi yang banyak disukai atau diserap oleh sebagian besar tanaman budidaya. Namun nitrat ini mudah tercuci melalui air drainase dan menguap ke atmosfer dalam bentuk gas (pada drainase buruk dan aerasi terbatas).
Peranan Bahan Organik Terhadap Biologi Tanah
Bahan organik merupakan sumber energi bagi makro dan mikro-fauna tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Beberapa mikroorganisme yang beperan dalam dekomposisi bahan organik adalah fungi, bakteri dan aktinomisetes. Di samping mikroorganisme tanah, fauna tanah juga berperan dalam dekomposi bahan organik antara lain yang tergolong dalam protozoa, nematoda, Collembola, dan cacing tanah. Fauna tanah ini berperan dalam proses humifikasi dan mineralisasi atau pelepasan hara, bahkan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan struktur tanah (Tian, G. 1997). Mikro flora dan fauna tanah ini saling berinteraksi dengan kebutuhannya akan bahan organik, kerena bahan organik menyediakan energi untuk tumbuh dan bahan organik memberikan karbon sebagai sumber energi. Pengaruh positif yang lain dari penambahan bahan organik adalah pengaruhnya pada pertumbuhan tanaman. Terdapat senyawa yang mempunyai pengaruh terhadap aktivitas biologis yang ditemukan di dalam tanah adalah senyawa perangsang tumbuh (auxin), dan vitamin (Stevenson, 1982). Senyawa-senyawa ini di dalam tanah berasal dari eksudat tanaman, pupuk kandang, kompos, sisa tanaman dan juga berasal dari hasil aktivitas mikrobia dalam tanah. Di samping itu, diindikasikan asam organik dengan berat molekul rendah, terutama bikarbonat (seperti suksinat, ciannamat, fumarat) hasil dekomposisi bahan organik, dalam konsentrasi rendah dapat mempunyai sifat seperti senyawa perangsang tumbuh, sehingga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman.

b. Pengelolaan Bahan Organik Tanah.
Upaya pengelolaan bahan organik tanah yang tepat perlu menjadi perhatian yang serius, agar tidak terjadi degradasi bahan organik tanah. Penambahan bahan organik secara kontinyu pada tanah merupakan cara pengelolaan yang murah dan mudah. Namun demikian, walaupun pemberian bahan organik pada lahan pertanian telah banyak dilakukan, umumnya produksi tanaman masih kurang optimal, karena rendahnya unsure hara yang disediakan dalam waktu pendek, serta rendahnya tingkat sinkronisasi antara waktu pelepasan unsur hara dari bahan organik dengan kebutuhan tanaman akan unsure hara. Kualitas bahan organik sangat menentukan kecepatan proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Komponen kualitas bahan organik yang penting meliputi nisbah C/N, kandungan lignin, kandungan polifenol, dan kapasitas polifenol mengikat protein. Kandungan hara N, P dan S sangat menentukan kualitas bahan organik. Nisbah C/N dapat digunakan untuk memprediksi laju mineralisasi bahan organik. Jika bahan organik mempunyai kandungan lignin tinggi kecepatan mineralisasi N akan terhambat. Lignin adalah senyawa polimer pada jaringan tanaman berkayu, yang mengisi rongga antar sel tanaman, sehingga menyebabkan jaringan tanaman menjadi keras dan sulit untuk dirombak oleh organisme tanah. Pada jaringan berkayu, kandungan lignin bisa mencapai 38 %.
Perombakan lignin akan berpengaruh pada kualitas tanah dalam kaitannya dengan susunan humus tanah. Dalam perombakan lignin, di samping jamur (fungi-ligninolytic) juga melibatkan kerja enzim (antara lain enzim lignin peroxidase, manganeses peroxidase, laccases dan ligninolytic). Polifenol berpengaruh terhadap kecepatan dekomposisi bahan organik, semakin tinggi kandungan polifenol dalam bahan organik, maka akan semakin lambat terdekomposisi dan termineralisasi. Polifenol adalah senyawa aromatik hidroksil yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni : polifenol sulit larut dan polifenol mudah larut. Harborne (1997) mengelompokkan polifenol menjadi dua, yaitu (1) polifenol dengan berat molekul rendah, dan (2) polifenol dengan berat molekul tinggi berbentuk tanin, yang tersebar dalam daun. Pada sebagian besar tanaman, senyawa fenolik yang berada pada permukaan luar bagian atas daun bercampur dengan lilin . Sifat khas dari polifenol adalah kemampuannya dalam membentuk kompleks dengan protein, sehingga protein sulit dirombak oleh organisme perombak. Selain itu, polifenol juga dapat mengikat enzim organisme perombak, sehingga aktivitas enzim menjadi lemah. Proses dekomposisi atau mineralisasi, di samping dipengaruhi oleh kualitas bahan organiknya, juga dipengaruhi oleh frekuensi penambahan bahan organik, ukuran partikel bahan, kekeringan, dan cara penggunaannya. Sumber bahan organik yang dapat kita gunakan dapat berasal dari : sisa dan kotoran hewan (pupuk kandang), sisa tanaman, pupuk hijau, sampah kota, limbah industri, dan kompos.

DEGRADASI LAHAN


DEGRADASI LAHAN

Degradasi lahan merupakan menurunnya kualitas dan kuantitas suatu lahan yang meliputi beberapa aspek, seperti aspek fisika tanah, kimia tanah, biologi tanah, pada suatu luasan lahan. Dalam praktek budidaya pertanian sendiri sering akan menimbulkan dampak pada degradasi lahan. Dua faktor penting dalam usaha pertanian yang potensial menimbulkan dampak pada sumberdaya lahan, yaitu tanaman dan manusia (sosio kultural) yang menjalankan pertanian. Diantara kedua faktor, faktor manusia  yang dapat memberikan dampak positip atau negatip pada suatu lahan, tergantung dalam pengelolaan pertanian yang dilakukan. Apabila dalam menjalankan pertaniannya benar maka akan berdampak positip, namun apabila cara menjalankan pertaniannya salah maka akan berdampak negatif. Kegiatan menjalankan pertanian atau cara budidaya pertanian yang  menimbulkan dampak antara lain meliputi kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah lingkungan (pupuk dan insektisida) serta sistem budidaya termasuk pola tanam yang mereka gunakan.
Faktor alami penyebab degradasi tanah antara lain: areal berlereng curam, tanah yang muda rusak, curah hujan intensif, dan lain-lain. Faktor degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan oleh faktor alami, antar lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat. Penebangan hutan pada lahan yang kritis, penebangan secara berlebihan dari vegetasi, penanaman yang selalu berganti, penggembalaan yang berlebih, ketidakseimbangan penggunaan pupuk dan praktek managemen konservasi lahan yang salah, pemompaan air tanah yang berlebih adalah beberapa faktor yang mana disebabkan oleh campur tangan manusia yang mengakibatkan erosi tanah.

Tiga faktor penyebab degradasi tanah akibat campur tangan manusia secara langsung, yaitu : pertanian intensif, pembukaan tambang, deforestasi. Faktor-faktor tersebut di Indonesia pada umumnya terjadi secara simultan, berikut adalah pembahasan dari ketiga degradasi pada tiga bidang.

1.   DEGRADASI LAHAN PERTANIAN
Aktivitas pertanian juga dapat menyebabkan dampak yang merugikan. Erosi dan kerusakan tanah terjadi akibat budi daya pertanian yang melampaui daya dukung tanah. Penggunaan bahan-bahan agrokimia yang berlebihan dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kelestarian lahan. Cara-cara budi daya pertanian yang tidak mengindahkan kaidahkaidah konservasi lahan menyebabkan kualitas lahan menurun sejalan dengan hilangnya lapisan tanah subur akibat erosi dan pencucian hara. Dampak negatip harus kita hilangkan atau kita tekan menjadi seminim mungkin. Kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap degradasi lahan antara lain kegiatan deforesterisasi, industri, pertambangan, perumahan, dan kegiatan pertanian sendiri. Apabila kegiatan tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan mengakibatkan terjadinya degradasi lahan pertanian yang mengancam keberlanjutan uasaha tani dan ketahanan pangan. Oleh karenanya, dalam kegiatan pembangunan hendaknya harus dipikirkan keberlanjutannya dimasa mendatang (sustainabilitas).
Dalam praktek budidaya pertanian sendiri sering akan menimbulkan dampak pada degradasi lahan. Kegiatan menjalankan pertanian atau cara budidaya pertanian yang menimbulkan dampak antara lain meliputi kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah lingkungan (pupuk dan insektisida) serta sistem budidaya termasuk pola tanam yang mereka gunakan. Pembangunan pertanian konvensional yang telah kita lakukan masa lalu nampaknya belum menjamin keberlanjutan program pembangunan pertanian. Kita berevaluasi diri, setelah lebih dari 30 tahun menerapkan pembangunan pertanian nasional kita menghadapi beberapa indikator yang memprihatinkan :
1.      Tingkat produktivitas lahan menurun
2.      Tingkat kesuburan lahan merosot
3.      Konversi lahan pertanian semakin meningkat
4.      Luas dan kualitas lahan kritis semakin meluas
5.      Tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan pertanian meningkat
6.      Daya dukung likungan merosot
7.      Tingkat pengangguran di pedesaan meningkat
8.      Daya tukar petani berkurang
9.      Penghasilan dan kesejahteraan keluarga petani menurun, dan
10.  Kesenjangan antar kelompok masyarakat meningkat.
Dari evaluasi tersebut degradasi lahan, penurunan daya dukung lahan dan pencemaran lahan pertanian menjadi ancaman yang serius yang harus perlu kita hindari. Beberapa hal yang sangat mempengaruhi dalam degradasi lahan pertanian adalah:

Pencemaran Agrokimia.
Penggunaan bahan-bahan agrokimia, seperti pupuk dan pestisida yang berlebihan dapat mencemari tanah, air, tanaman, dan sungai atau badan air. Pupuk nitrogen (N) yang digunakan dalam budidaya pertanian mengalami berbagai perubahan di dalam tanah, seperti dalam bentuk ammonium (NH4), nitrat (NO3), dan/atau nitrit (NO2). Sebagian dari N pupuk (NH3/N2 dan N2O) menguap ke udara (volatilisasi), sebagian lagi hilang melalui pencucian atau erosi. Di daerah tropis, 40-60% N-urea hilang dalam bentuk NH3. Penggunaan pupuk N dosis tinggi, seperti pada budi daya sayuran dataran tinggi, dapat mencemari lingkungan, karena sebagian besar N dari pupuk hanyut terbawa aliran permukaan dan erosi.
Dampak negatif lain dari penggunaan agrokimia antara lain berupa pencemaran air, tanah, dan hasil pertanian, gangguan kesehatan petani, menurunya keanekaragaman hayati, ketidak berdayaan petani dalam pengadaan bibit, pupuk kimia dan dalam menentukan komoditas yang akan ditanam. Penggunaan pestisida yang berlebih dalam kurun yang panjang, akan berdampak pada kehidupan dan keberadaan musuh alami hama dan penyakit, dan juga berdampak pada kehidupan biota tanah. Hal ini menyebabkan terjadinya ledakan hama penyakit dan degradasi biota tanah. Penggunaan pupuk kimia yang berkonsentrasi tinggi dan dengan dosis yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang menyebabkan terjadinya penurunan kesuburan tanah karena terjadi ketimpangan hara atau kekurangan hara lain, dan semakin merosotnya kandungan bahan organik tanah.
Akibat dari ditinggalkannya penggunaan pupuk organik berdampak pada penyusutan kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak tempat-tempat yang kandungan bahan organiknya sudah sampai pada tingkat rawan, sekitar 60 persen areal sawah di Jawa kadungan bahan organiknya kurang dari 1 persen. Sementara, system pertanian bisa menjadi sustainable (berkelanjutan) jika kandungan bahan organik tanah lebih dari 2 %. Bahan organik tanah disamping memberikan unsur hara tanaman yang lengkap juga akan memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah akan semakin remah. Namun jika penambahan bahan organik tidak diberikan dalam jangka panjang kesuburan fisiknya akan semakin menurun.

Pencemaran Industri.
Pembangunan kawasan industri pada areal pertanian subur, produktif, dan potensial selain mengurangi luas lahan pertanian, juga sering kali menimbulkan permasalahan lingkungan bagi masyarakat sekitarnya, yaitu pencemaran bahan berbahaya dan beracun (B3) melalui limbahnya. Limbah industri yang dibuang ke badan air atau sungai dan lingkungan sekitarnya dapat mencemari tanah, air, dan tanaman apabila digunakan sebagai sumber air pengairan. Pada umumnya tanaman tidak mengalami gangguan fisiologis, namun kualitas hasil/produk pertanian tercemari berbahaya bagi konsumen.
Dampak yang ditimbulkan dapat berupa gas buang seperti belerang dioksida (SO2) akan menyebabkan terjadinya hujan asam dan akan merusak lahan pertanian. Disamping itu, adanya limbah cair dengan kandungan logam berat beracun (Pb, Ni, Cd, Hg) akan menyebabkan degradasi lahan pertanian dan terjadinya pencemaran dakhil. Limbah cair ini apa bila masuk ke badan air pengairan, dampak negatipnya akan meluas sebaranya. Penggalakan terhadap program kalibersih dan langit biru perlu dilakukan, dan penerapan sangsi bagi pengusaha yang mengotori tanah, air dan udara.

Alih fungsi lahan
Konversi lahan pertanian yang semakin meningkat akhir-akhir ini merupakan salah satu ancaman terhadap keberlanjutan pertanian. Salah satu pemicu alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain adalah rendahnya isentif bagi petani dalam berusaha tani dan tingkat keuntungan berusahatani relatif rendah. Selain itu, usaha
pertanian dihadapkan pada berbagai masalah yang sulit diprediksi dan mahalnya biaya pengendalian seperti cuaca, hama dan penyakit, tidak tersedianya sarana produksi dan pemasaran. Alih fungsi lahan banyak terjadi justru pada lahan pertanian yang mempunyai produktivitas tinggi menjadi lahan non-pertanian. Dilaporkan dalam periode tahun 1981- 1999, sekitar 30% (sekitar satu juta ha) lahan sawah di pulau Jawa, dan sekitar 17% (0,6 juta ha) di luar pulau Jawa telah menyusut dan beralih ke non-pertanian, terutama ke areal industri dan perumahan.
Banyak areal lumbung beras nasional kita yang beralih guna seperti dipantura dan seperti pusat pembangunan di dalam pinggir perkotaan. Daerah pertanian ini umumnya sudah dilengkapi dengan infrastruktur pengairan sehingga berproduksi tinggi. Alih guna lahan sawah ke areal pemukiman dan industri sangat berpengaruh pada ketersedian lahan pertanian, dan ketersediaan pangan serta fungsi lainnya.

2.   DEGRADASI HUTAN HUJAN TROPIS DI INDONESIA
Hutan hujan tropis Indonesia merupakan salah satu hutan yang paling terancam di muka bumi. Antara tahun 1990 – 2005, negara ini telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7 persen hutan perawan. Penurunan hutan-hutan primer yang kaya secara biologi ini adalah yang kedua di bawah Brazil. Jumlah hutan-hutan di Indonesia makin menurun dan banyak dihancurkan karena  aktivitas manusia. Data pada tahun 1960-an, sebanyak 82% luas negara Indonesia ditutupi oleh hutan hujan, turun menjadi 68% di tahun 1982, 53% di tahun 1995, dan 49% pada saat ini. Umumnya, hutan tersebut bisa dikategorikan sebagai hutan yang telah terdegradasi.
Manusia adalah penyebab utama terdegradasinya hutan hujan tropis. Di Indonesia, aktivitas manusia yang merusak hutan antara lain penebangan kayu, penambangan di wilayah hutan, agrikultur, konstruksi jalan raya, perkampungan, dan peternakan. Hutan di Indonesia kini sedang dalam kondisi yang parah karena kehilangan lebih dari dua juta hektare area hutan pada setiap tahun. Kerusakan terutama terjadi di hutan hujan tropis di pulau Kalimantan.
Penebangan Kayu
Penebangan hutan di Indonesia telah memperkenalkan beberapa daerah yang paling terpencil, dan terlarang di dunia pada pembangunan. Penebangan hutan dilakukan dengan alasan kebutuhan kayu untuk bangunan dan kayu bakar. Aktivitas penebangan hutan di Indonesia, dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan-perusahan industry kayu baik secara legal maupun illegal. Praktek penebangan hutan sangat luas terjadi di pulau Kalimantan dan Papua, di mana perusahaan kayu terus masuk semakin dalam ke daerah interior untuk mencari pohon yang cocok. Hal tersebut telah menimbulkan kerusakan yang semakin parah pada hutan hujan di Indoensia.
 Pertanian Di Hutan Hujan
Setiap tahun, penenbangan hutan dilakukan untuk lahan pertanian. Ada dua dua kelompok yang terlibat dalam mengubah hutan hujan menjadi tanah pertanian yaitu penduduk setempat (petani) dan perusahaan dalam bidang pertanian. Para petani miskin menggunakan cara tebang dan bakar untuk membersihkan bidang tanah di hutan. Biasanya mereka bercocok tanam di bidang tanah tadi untuk beberapa tahun hingga tanah kehabisan nutrisi dan setelah itu mereka harus berpindah ke suatu bidang tanah baru di dalam hutan dan melakukan hal yang sama kembali. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya program transmigrasi ke lokasi hutan hujan tropis pada beberapa dasawarsa terakhir. Sedangkan perusahaan bidang pertanian banyak menggunakan jasa penduduk lokal, dipekerjakan untuk membuka hutan dengan cara tebang dan bakar. Kemudian lahan tersebut digunakan untuk tanaman monokultur seperti kelapa sawit.
Aktivitas Pertambangan
Pertambangan merupakan salah satu penyebab terbesar hilangnya hutan hujan tropis di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan sangat jelas terutama hutan hujan tropis di Kalimantan. Luas hutan hujan berkurang secara luar biasa oleh aktivitas pertambangan baik legal dan ilegal. Kerusakan hutan Kalimantan telah berdampak pada erosi massal, pendangkalan sungai dan berujung pada bencana banjir. Banyak aktivitas pertambangan lain di Indonesia memiliki wilayah operasi di dalam hutan hujan tropis yang dilindungi, seperti di Sumatera, Sulawesi,  dan Papua. Semuanya berkontribusi besar dalam proses degradasi hutan hujan tropis, meskipun tetap dilakukan upaya rehabilitasi purnatambang.
Hewan Ternak Di Hutan Hujan
Membersihkan hutan untuk menggembalakan hewan ternak adalah penyebab utama hilangnya hutan di Amazon, dan Brazil saat ini memproduksi daging sapi lebih banyak dari sebelumnya. Selain beternak untuk makan, banyak pemilik tanah menggunakan hewan ternak mereka untuk meluaskan tanah mereka. Hanya dengan menaruh hewan ternak mereka di suatu wilayah di hutan, para pemilik tanah bisa mendapatkan hak kepemilikan bagi tanah tersebut. Untuk di Indonesia, aktivitas peternakan di hutan hujan tropis tidak berpengarth signifikan karena peternakan oleh penduduk umumnya masih tradisional.


3.   DEGRADASI LAHAN BEKAS TAMBANG
Usaha pertambangan yang sering dilakukan diatas lahan yang subur atau hutan yang permanen. Dampak negatif pertambangan dapat berupa rusaknya permukaan bekas penambangan yang tidak teratur, hilangnya lapisan tanah yang subur, dan sisa ekstraksi (tailing) yang akan berpengaruh pada reaksi tanah dan komposisi tanah. Sisa ektraksi ini bisa bereaksi sangat asam atau sangat basa, sehingga akan berpengaruh pada degradasi kesuburan tanah. Semakin meningkatnya kebutuhan akan bahan bangunan terutama batu bata dan genteng, akan menyebabkan kebutuhan tanah galian juga semakin banyak (galian C). Selain itu Pertambangan sering mengubah atau menghilangkan bentuk permukaan bumi (landscape). Kegiatan pertambangan yang dilakukan secara terbuka (opened mining) membuka vegetasi/pohon-pohonan, menggali tanah di bawahnya, dan meninggalkan lubang-lubang besar di permukaan bumi. Untuk memperoleh bijih tambang, permukaan tanah dikupas dan digali menggunakan alat-alat berat seperti buldoser dan backhoe. Para pengelola pertambangan umumnya meninggalkan areal bekas tambang tanpa melakukan rehabilitasi dan/atau reklamasi lahan, sehingga tidak sejalan dengan komitmennya dalam pengendalian dampak lingkungan. Bagi para pengelola pertambangan perlu ditegaskan kembali tentang kewajibannya dalam melaksanakan rehabilitasi/ reklamasi lahan yang mengalami kerusakan. Ini sebagai tanggung jawabnya dalam pengelolaan lingkungan hidup, sehingga sanksi yang sesuai dan tegas dapat dikenakan.








DAFTAR PUSTAKA
Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Strategi Penanggulangan Pencemaran Lahan Pertanian Dan Kerusakan Lingkungan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor
Undang Kurnia, Sudirman, dan H. Kusnadi. 2002. Teknologi rehabilitasi dan reklamasi lahan kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian



Proses pembentukan tanah



PROSES PEMBENTUKAN TANAH

Proses Pembentukan Horizon Argilik
Horison penimbunan liat ditemukan pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan induk sedimen dan volkanik, pada beberapa regim kelembaban tanah (akuik, perudik/udik, dan ustik). Proses pembentukan horison penimbunan liat yang menghasilkan horison argilik meliputi proses dispersi liat di lapisan atas, dilanjutkan dengan proses pemindahan liat oleh air dari lapisan atas (eluviasi), dan pengendapannya di lapisan bawah (iluviasi). Banyak faktor yang berpengaruh agar liat lebih mudah terdispersi dalam air, sehingga lebih mudah dipindahkan. Demikian pula, banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses pemindahan dan pengendapan liat di lapisan bawah. Tiga tahap proses pembentukan horison penimbunan liat, yang meliputi proses dispersi, pemindahan, dan akumulasi liat, masing-masing memerlukan kondisi yang khusus. Sedangkan proses pembentukan horison penimbunan liat yang tidak menghasilkan argilik apabila (1) jumlah penimbunan liat tidak memenuhi argilik, meskipun ada selaput liat, (2) jumlah penimbunan liat memenuhi argilik tapi tidak ada selaput liat, atau (3) jumlah penimbunan liat tidak memenuhi argilik dan tidak ada selaput liat.

Dispersi Liat di Lapisan Atas
Dispersi adalah proses terpencarnya partikel-partikel tanah di dalam suatu larutan. Partikel-partikel tanah tersebut, yakni liat halus, liat kasar, debu halus, debu kasar dan lainnya, pada mulanya terikat satu sama lain dengan bahan perekat karbonat, seskuioksida (Al dan Fe), atau bahan organik, sehingga liat sulit dipindahkan oleh air ke horison lain. Dispersi akan berjalan dengan baik, bila air tersedia dalam jumlah cukup, dan kondisi memungkinkan terjadinya penghancuran bahan-bahan perekatnya. Agar butir-butir tanah dapat terdispersi, maka bahan-bahan perekat seperti karbonat (kapur), besi, dan bahan organik harus tercuci lebih dulu dari permukaan tanah. Karbonat (dan bikarbonat) merupakan flokulan yang kuat, sehingga dalam pembentukan Alfisol perlu dicuci lebih dulu, agar plasma (liat) menjadi lebih mudah bergerak bersama dengan air perkolasi. Dengan pencucian karbonat ini, tanah di lapisan atas menjadi lebih masam, kadang-kadang sampai mencapai pH 4,5. Besi sebagai flokulan lain mengalami pencucian dari lapisan atas, setelah karbonat dibebaskan. Pada tanah Ultisol, pencucian basa -basa berjalan ekstensif dan sangat lanjut, sehingga tanah bereaksi masam dan kejenuhan basa rendah sampai di lapisan bawah tanah (1,8 m dari permukaan tanah). Di wilayah tropika basah, karena suhu yang cukup tinggi (>22 0C) dan pencucian yang kuat dalam waktu yang cukup lama, maka terjadilah pelapukan yang kuat terhadap mineral-mineral yang mudah lapuk.

Translokasi/proses pemindahan liat (eluviasi)
Proses mobilisasi dan translokasi liat dipengaruhi, antara lain oleh jenis pori. Biasanya air tidak tertahan dalam pori non kapiler, akan tetapi akan bergerak masuk ke dalam bagian tanah yang memiliki pori kapiler. Jika horison bagian bawah memiliki tekstur lebih kasar, maka air cenderung tertahan pada bagian atas. Selanjutnya diuraikan pula bahwa bila elektrolit dalam larutan rendah, maka liat dapat terdispersi. Rendahnya elektrolit dalam tanah dapat disebabkan oleh pelapukan dan pencucian tanah yang terjadi secara kontinyu, atau disebabkan oleh proses pemasaman lapisan permukaan tanah, akibat tercucinya kation kalsium digantikan oleh hidrogen. Air merupakan medium utama dalam proses pemindahan partikel tanah. Proses pemindahan liat berjalan lebih baik pada tanah yang mengalami kering dan basah bergantian, dibanding dengan tanah yang terus menerus kering atau terus menerus basah. Selain itu juga disebutkan bahwa horison argilik terbentuk lebih baik pada tanah berlempung (loamy) daripada tanah berpasir atau berliat. Kadar liat yang terlalu rendah pada tanah berpasir kurang mendukung pembentukan horison argilik, sedang kadar liat yang terlalu tinggi pada tanah berliat, menghambat pergerakan air dan proses pemindahan liat. Pergerakan liat tersebut dapat terjadi dari satu horison ke horison-horison lainnya, atau hanya pada satu horison saja. Kesamaan susunan mineralogi dari liat halus antara horison eluviasi dan horison iluviasi , terlihat jelas. Sehingga kesamaan tersebut mendukung pendapat, bahwa liat secara dominan berpindah dari bahan tanah di atas, dan bukan hasil dekomposisi yang kemudian tersintesa membentuk partikel yang berukuran liat. Proses pelarutan liat filosilikat dapat mengakibatkan kehilangan liat dalam tanah. Kehilangan tersebut biasanya terjadi pada horison atas, dimana proses pelapukan terjadi sangat intensif.


Pengendapan di lapisan bawah (iluviasi)
Pengendapan (immobilisasi) liat dapat disebabkan oleh:
(1) Air perkolasi tidak cukup banyak, sehingga tidak dapat meresap lebih jauh ke dalam tanah
(2) Butir-butir tanah yang mengembang dan menutup pori-pori tanah, sehingga air perkolasi lambat bergerak.
 (3) Penyaringan oleh pori-pori halus yang tersumbat.
(4) Flokulasi liat bermuatan negatif oleh besi oksida yang bermuatan positif di horison Bt dan  oleh kejenuhan basa yang lebih tinggi.
 Pada tanah masam, kation Al3+ memiliki kemampuan yang kuat dalam memflokulasi liat. Mobilitas liat dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Liat dapat bergerak, apabila bahan pengikat (seskuioksida atau lainnya) terlarut lebih dahulu. Proses pembasahan tanah yang kering, dapat memicu kerusakan fabrik tanah dan mendispersi liat. Dikatakan pula bahwa pada tanah-tanah yang kering secara periodik, suspensi liat akan bergerak ke bagian bawah, dan berhenti di bagian tanah yang kering dimana larutan tanah akan diserap oleh butir-butir struktur tanah (ped). Selama penyerapan tersebut permukaan ped berlaku sebagai filter, agar liat tidak masuk ke bagian dalam ped. Dengan demikian, liat tersebut akan menyelaputi ped tanah, membentuk suatu lapisan yang terorientasi dan dikenal dengan selaput liat (clay skin). Terjadinya selaput liat berkaitan dengan akumulasi liat dalam bentuk koloid, selaput liat, atau selaput tipis liat (clay film). Selaput tipis liat tersusun dari kristal-kristal liat alumino-silikat iluviasi yang terorientasi, yang oleh disebut dengan ”clay skin” dan ”illuviation argillan” untuk mendeskripsi adanya alumino-silikat liat yang mengalami translokasi.